Minggu, 07 September 2008

"Cita-cita"

Nak, besok kalau sudah besar mau jadi apa?
Mungkin diantara kita semua pernah menjadi sasaran pertanyaan tersebut saat kita masih duduk di bangku taman kanak-kanak, atau bahkan sudah masuk sekolah dasar. Pertanyaan itu tidak hanya dilontarkan orang tua kita, terkadang anggota keluarga lainnya, seperti paman, bibi, guru bahkan tetangga juga ikut melontarkan pertanyaan itu pada kita.

Mungkin kala itu kita tidak sadar apa sebenarnya yang terkandung dalam pertanyaan tersebut. Itu sebabnya, jawaban yang terlontar dalam bibir kita ketika masih anak-anak seakan sekenanya saja, atau paling tidak jawaban yang kita berikan adalah sesuatu yang dianggap enak. Seperti menjadi dokter, polisi, pilot, menteri, bahkan menjadi presiden.

Aku sendiri sempat menjadi korban pertanyaan seperti itu, namun pertanyaan yang datang kepadaku itu termasuk telat dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Banyak teman-teman yang sudah cerita, mereka ingin menjadi inilah itulah, menjadi presiden lah yang katanya enak bisa memimpin negara dan tinggal di rumah yang mewah. Menjadi pilot lah yang katanya bisa keliling dunia dan melihat rumah dari atas. Menjadi dokter-lah yang katanya biar biasa mengobati orang banyak.

Aku menjadi lelah mendengar semua alasan terhadap cita-cita yang dilontarkan teman-teman semasa kecilku. Aku menganggap apa yang dicita-citakan temanku itu terlalu tinggi, bahkan boleh dikatakan bagai pungguk merindukan bulan. Betapa tidak, aku dan teman-teman hanya tinggal di desa kecil, jumlah penduduknya tak kurang dari 3000 orang kala itu. TV pun masih jarang, jika ingin menonton harus mengungsi ke rumah tetangga. Ya, jelas bisa dibayangkan, kehidupan ekonominya masih terbilang sederhana.

"Lutfi, apa cita-cita kamu jika besar nanti?" pertanyaan itu muncul dari seorang guru, saat aku masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Saat itu aku sangat percaya diri memberikan jawaban yang berbeda dengan teman-temanku, jawaban yang ku lontarkan kuanggap sebagai sebuah jawaban yang paling bagus dibandingkan teman-teman lain. Bahkan dengan jawaban yang kuberikan, aku berfikir kalau aku lebih memikirkan masa depan dibandingkan yang lainnya.

"Aku ingin menjadi orang yang sukses di dunia dan akhirat, Bu," itulah jawaban yang aku berikan. Alasan mengapa aku menjawab demikian pun ku jelaskan dengan gamblang. "Aku mendengar yang lainya ingin jadi dokter, pilot, menteri dan persiden, lha itu semua yang tergolong orang orang yang sukses, tapi suksesnya hanya di dunia saja. Makanya aku juga ingin sukses di akhirat. Di dunia boleh jadi menteri atau presiden, tapi jadi menteri dan presiden yang masuk surga," kataku kala itu.

Yah itu hanya jawaban anak kecil, yang belum punya pikiran matang. Tapi dibalik itu, ada hal besar yang patut kita renungkan, ternyata dari semua jawaban baik yang dilontarkan teman-teman atau yang keluar dari mulutku punya makna yang cukup besar. Betapa tidak, masing masing jawaban menjadi cikal bakal pembentukan berbagai aspek kehidupan masa depan kelak ketika anak-anak sudah besar.

Ketika mengungkapkan ingin menjadi dokter, tentunya mereka telah punya gambaran tentang kehidupan dokter yang bisa menolong banyak orang sakit. Dari sinilah sudah ada dasar pembentukan rasa soledaritas anak pada sesama. Kemudian ketika mereka mengungkapkan ingin menjadi Presiden, keinginan ini secara tidak langsung telah menumbuhkan sifat kepemimpinan. Selanjutnya, keinginan menjadi orang yang sukses, jelas sudah menumbuhkan sifat untuk selalu bekerja keras.

Ini hanya celotehku!!!!silahkan kaih komen, kalau tidak setuju silahkan diprotes saja.

Kamis, 01 Mei 2008

thoriqoh II

Tomblok Kuuuk Badala

Kuuuk badala, kuuuk badala, kata kata ini masih sangat terniang dalam benakku. Ketika seorang ibu menimang anaknya dengan kata-kata ini aku langsung teringat kenangan masa kecil ku dulu. Kenangan itu malah terbangun ketika aku berusia 5 atau 6 tahun, padahal kata-kata itu biasanya ditujukan pada anak yang masih bayi.

Cerita ini berawal dari sebuah keranjang terbuat dari anyaman bambu yang mungkin diameternya hanya sekitar setengah meter saja. Bagi tubuhku yang saat itu masih munggil, diameter keranjang tidak terlalu sempit, bahkan dengan leluasa tubuhku masuk kedalamnya meski dengan lutut ditekuk keatas.

Bagi aku kecil, naik keranjang yang di desaku disebut dengan tomblok suatu kegembiraan luar biasa. Maklum saat itu kendaraan masih sangat jarang, sepeda motor tidak seribut seperti saat ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang sudah punya sepeda motor, itu pun bisa dihitung dengan jari. Itu sebabnya, ketika orang yang sudah punya motor dipandang orang berada.

Naik tomblok hanya terjadi ketika aku pergi ke sawah atau sebaliknya pulang dari sawah. Sepintas akan timbul pertanyaan, memang tomblok bisa berjalan? iya saat itu tomblok memang bisa berjalan, bahkan naik tomblok bagiku lebih enak dibandingkan naik ayunan, terlebih lagi naik komedi putar yang malah mambuat kepalaku pusing. Yang menjadi sangat enak ketika naik tomblok adalah ayunan naik turunnya disertai dengan bunyi cit cit cit dari tali yang mengikat tomblok.

Memang tomblok tidak bisa berjalan dengan sendirinya ketika aku naiki. Tapi setelah aku masuk dalam tomblok, bapak kemudian menyiapkan sebuah kayu panjang biasanya terbuat dari bambu yang disebut pikulan. Satu pasang tomblok dikaitkan dengan pikulan yang selanjutnya di taruh diatas pundak bapak. Tomblok pun terangkat ketika bapak berdiri, dari sinilah perjalanku dengan tomblok dimulai.

Aku bilang, tomblok yang diangkat adalah sepasang, jika tidak maka tidak imbang. Ketika tomblok yang satu aku naiki, tomblok yang satu lagi tidak dibiarkan kosong begitu saja dan akan diisi dengan bermacam benda. Terkadang berupa perbekalan makan saat disawah nanti. Atau jika pulang diisi dengan hasil sawah dan ladang. Bahkan jika tidak ada barang atau hasil sawah yang diisikan, maka tomblok diisi dengan batu hanya untuk menyeimbangkan dengan berat tubuhku.

Satu ketika, entah kapan pastinya aku sudah lupa, aku dengan bapak dan emak ku hendak pergi ke sawah. Tiba-tiba datang Nur Qomari, teman sekaligus tetangga dekatku. Nur Qomari kecil, ternyata juga ingin ikut ke sawah. Kedua orang tua ku tidak menolaknya, mungkin mereka berpikiran Nur Qomari bisa jari teman bermainku di sawah nanti ketika mereka sedang sibuk dengan tanaman.

Bapak pun mengeluarkan satu pasang tomblok dari taring (langit-langit) kandang yang memang biasanya digunakan untuk menyimpan berbagai barang. Tomblok itu kosong, dan aku melihat emak juga tidak membawa perbekalan terlalu banyak. Lantas untuk apa sebenarnya tomblok itu. Tak tahunya, bapak menyuruh kami masuk kedalam tomblok, aku disebelah kiri dan Nur Qomari disebelah kanan.

Bapak mulai mengaitkan tali tomblok dengan pikulan yang juga diambil dari taring. Tak lama kemudian tubuhku terangkat seiring dengan terangkatnya tomblok yang dipikul bapak. Kegembiraan hati ini seakan tidak ada bisa menggantikan, senang dan senang itu yang ada dalam dada. Lebih lebih, naik tomblok dengan teman baik ku.

Sepanjang perjalanan ke sawah yang mungkin berjarak hampir satu kilo meter dari rumah kami, suara cit cit cit dari pikulan dan tomblok yang kami naiki tidak pernah berhenti. Seiring itu pula hati terus bergembira.

Sepanjang perjalanan itu, aku dan Nur Qomari terus bergurau. Tubuhnya yang sering tidak kelihatan terhalang tubuh bapak yang menahan beban dua tubuh kami, menjadi permainan petak umpet. kuuuk badala, kuuuuk badala, kata - kata itulah yang terucap dari bibir aku dan Nur Qomari berulang kali, saat tubuh kami bisa terlihat tidak terhalang tubuh bapak. Hingga akhirnya kami sampai di sawah.

Tomblok juga menjadi bagian cerita perjalanan hidup ku yang akan tetap terkenang selamanya.

Senin, 28 April 2008

thoriqoh I

Rumahku

Pagi itu, sang surya baru setinggi galah, hangat sinarnya sedikit menunsuk kulit, bahkan sinar itu belum kuat mengusir sebagian kabut pekat yang ada dihadapanku. Udara pagi masih begitu terasa, kesegarannya menusuk hingga ke paru kala terhirup. Sesekali hembusannya terasa dingin menusuk kulit mengusir sinar mentari yang mulai hangat.



Pagi itu, mataku lurus memandang kedepan, entah sampai mana menerawang. Tapi yang jelas, butir mataku tertuju pada satu arah. Ya, sebuah bayangan gunung yang nampak kecil di kejauhan, entah sejauh mana aku sendiri tak tahu, sampai saat ini pun aku tetap tidak tahu. Gunung itu hanya terlihat hitam, itulah sebabnya dibilang bayangan. Memang sebutan bayangan gunung bukan dari aku. Pertama, sebutan itu datang dari kakek ku, kemudian datang pula dari Ibu dan disusul semua orang disekitarku menyebut kalau gunung yang kupandang di kejauhan itu hanya sebuah bayangan, bukan aslinya.


Selama ini pula aku tidak pernah tahu mana gunung yang sebenarnya, kalau memang itu disebut bayangan gunung. Tapi ada satu realita lain yang menegaskan kalau itu hanya sebuah bayangan gunung, sebab pemandangan indah itu hanya perlihat pagi hari saja, siang sedikit gunung itu sudah lenyap tak tahu kemana dan ditelan apa.


Ke Maha Besaran Tuhan itulah yang hampir setiap pagi aku pandangi semasa kecil ku dulu. Setiap memandaginya, rasa heran dan penasaranku semakin dalam. Kemana sebenarnya gunung itu hilang ketika siang menjelang. Semakin lama, semakin aku heran, hingga akhirnya aku jenuh tidak menemukan jawaban ke Agungan Allah Ta'ala.


Saat itu, aku baru berusia sekitar 6 tahun, usia dimana seorang anak dipenuhi dengan rasa penasaran untuk mengetahui apa disekitarnya. Usia dimana pikiran masih polos dan belum dihinggapi berbagai problema kehidupan. Usia dimana saat saat indah untuk bermain tanpa ada beban kehidupan. Usia dimana tatapannya selalu menggemari keindahan sekitar, terutama pemandangan yang ada didepan rumahku. Sebuah rumah sederhana, berdindingkan papan kayu meski itu hanya ada dibagian depan dan sebagian samping saja. Sedangkan sebagian lagi berdindingkan anyaman bambu. Batas-batas ruangan dalam rumah juga hanya terbuat dari lebaran tripek serta anyaman bambu tipis yang dikenal dengan sesek, kaca bening lebar sebagai penutup jendala sebagai ciri khas rumah ku saat itu.



Rumahku yang menghadap ke selatan memang punya keuntungan lebih dibanding rumah lainnya. Keluar dari rumah langsung disuguhi pemandangan hijau yang begitu indah terlebih lagi dipagi hari. Mata memandang seakan tidak ada batasnya bak tidak ada penghalang. Rumah ku memang terletak diatas bukit, rumah tetangga yang ada didepan poisisinya jauh lebih rendah. Itu sebabnya aku kecil lebih senang berada di depan rumah dengan melihat bayangan gunung dan pepohonan nan hijau. Bahkan sampai saat ini, ketika berada di rumah, pemandangan itu masih membuatku terasa fresh.


Di rumah inilah aku menghabiskan masa kecilku, bercengkrama dengan keluarga hingga bermain dengan teman-teman. Di rumah ini pula aku memulai semua perjalanan hidupku, perjalanan hidup seorang anak yang terlahir dari rahim Yatari, seorang ibu nan bijak dan penuh dengan kearifan. Serta dari seorang ayah bernama Moch Choiri, sosok ayah yang penuh dengan tanggung jawab atas keluarganya, sosok ayah yang penuh dengan kasih sayang meski cara mendidiknya agak kasar dan keras. Pejalanan hidup seorang anak yang diberi nama Lutfi Yuhandi, yang berawal dari sebuah kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan. Diawali dengan bedirinya rumah yang sebagian tiangnya terbuat dari batang bambu.