Senin, 28 April 2008

thoriqoh I

Rumahku

Pagi itu, sang surya baru setinggi galah, hangat sinarnya sedikit menunsuk kulit, bahkan sinar itu belum kuat mengusir sebagian kabut pekat yang ada dihadapanku. Udara pagi masih begitu terasa, kesegarannya menusuk hingga ke paru kala terhirup. Sesekali hembusannya terasa dingin menusuk kulit mengusir sinar mentari yang mulai hangat.



Pagi itu, mataku lurus memandang kedepan, entah sampai mana menerawang. Tapi yang jelas, butir mataku tertuju pada satu arah. Ya, sebuah bayangan gunung yang nampak kecil di kejauhan, entah sejauh mana aku sendiri tak tahu, sampai saat ini pun aku tetap tidak tahu. Gunung itu hanya terlihat hitam, itulah sebabnya dibilang bayangan. Memang sebutan bayangan gunung bukan dari aku. Pertama, sebutan itu datang dari kakek ku, kemudian datang pula dari Ibu dan disusul semua orang disekitarku menyebut kalau gunung yang kupandang di kejauhan itu hanya sebuah bayangan, bukan aslinya.


Selama ini pula aku tidak pernah tahu mana gunung yang sebenarnya, kalau memang itu disebut bayangan gunung. Tapi ada satu realita lain yang menegaskan kalau itu hanya sebuah bayangan gunung, sebab pemandangan indah itu hanya perlihat pagi hari saja, siang sedikit gunung itu sudah lenyap tak tahu kemana dan ditelan apa.


Ke Maha Besaran Tuhan itulah yang hampir setiap pagi aku pandangi semasa kecil ku dulu. Setiap memandaginya, rasa heran dan penasaranku semakin dalam. Kemana sebenarnya gunung itu hilang ketika siang menjelang. Semakin lama, semakin aku heran, hingga akhirnya aku jenuh tidak menemukan jawaban ke Agungan Allah Ta'ala.


Saat itu, aku baru berusia sekitar 6 tahun, usia dimana seorang anak dipenuhi dengan rasa penasaran untuk mengetahui apa disekitarnya. Usia dimana pikiran masih polos dan belum dihinggapi berbagai problema kehidupan. Usia dimana saat saat indah untuk bermain tanpa ada beban kehidupan. Usia dimana tatapannya selalu menggemari keindahan sekitar, terutama pemandangan yang ada didepan rumahku. Sebuah rumah sederhana, berdindingkan papan kayu meski itu hanya ada dibagian depan dan sebagian samping saja. Sedangkan sebagian lagi berdindingkan anyaman bambu. Batas-batas ruangan dalam rumah juga hanya terbuat dari lebaran tripek serta anyaman bambu tipis yang dikenal dengan sesek, kaca bening lebar sebagai penutup jendala sebagai ciri khas rumah ku saat itu.



Rumahku yang menghadap ke selatan memang punya keuntungan lebih dibanding rumah lainnya. Keluar dari rumah langsung disuguhi pemandangan hijau yang begitu indah terlebih lagi dipagi hari. Mata memandang seakan tidak ada batasnya bak tidak ada penghalang. Rumah ku memang terletak diatas bukit, rumah tetangga yang ada didepan poisisinya jauh lebih rendah. Itu sebabnya aku kecil lebih senang berada di depan rumah dengan melihat bayangan gunung dan pepohonan nan hijau. Bahkan sampai saat ini, ketika berada di rumah, pemandangan itu masih membuatku terasa fresh.


Di rumah inilah aku menghabiskan masa kecilku, bercengkrama dengan keluarga hingga bermain dengan teman-teman. Di rumah ini pula aku memulai semua perjalanan hidupku, perjalanan hidup seorang anak yang terlahir dari rahim Yatari, seorang ibu nan bijak dan penuh dengan kearifan. Serta dari seorang ayah bernama Moch Choiri, sosok ayah yang penuh dengan tanggung jawab atas keluarganya, sosok ayah yang penuh dengan kasih sayang meski cara mendidiknya agak kasar dan keras. Pejalanan hidup seorang anak yang diberi nama Lutfi Yuhandi, yang berawal dari sebuah kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan. Diawali dengan bedirinya rumah yang sebagian tiangnya terbuat dari batang bambu.

Tidak ada komentar: