Kamis, 01 Mei 2008

thoriqoh II

Tomblok Kuuuk Badala

Kuuuk badala, kuuuk badala, kata kata ini masih sangat terniang dalam benakku. Ketika seorang ibu menimang anaknya dengan kata-kata ini aku langsung teringat kenangan masa kecil ku dulu. Kenangan itu malah terbangun ketika aku berusia 5 atau 6 tahun, padahal kata-kata itu biasanya ditujukan pada anak yang masih bayi.

Cerita ini berawal dari sebuah keranjang terbuat dari anyaman bambu yang mungkin diameternya hanya sekitar setengah meter saja. Bagi tubuhku yang saat itu masih munggil, diameter keranjang tidak terlalu sempit, bahkan dengan leluasa tubuhku masuk kedalamnya meski dengan lutut ditekuk keatas.

Bagi aku kecil, naik keranjang yang di desaku disebut dengan tomblok suatu kegembiraan luar biasa. Maklum saat itu kendaraan masih sangat jarang, sepeda motor tidak seribut seperti saat ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang sudah punya sepeda motor, itu pun bisa dihitung dengan jari. Itu sebabnya, ketika orang yang sudah punya motor dipandang orang berada.

Naik tomblok hanya terjadi ketika aku pergi ke sawah atau sebaliknya pulang dari sawah. Sepintas akan timbul pertanyaan, memang tomblok bisa berjalan? iya saat itu tomblok memang bisa berjalan, bahkan naik tomblok bagiku lebih enak dibandingkan naik ayunan, terlebih lagi naik komedi putar yang malah mambuat kepalaku pusing. Yang menjadi sangat enak ketika naik tomblok adalah ayunan naik turunnya disertai dengan bunyi cit cit cit dari tali yang mengikat tomblok.

Memang tomblok tidak bisa berjalan dengan sendirinya ketika aku naiki. Tapi setelah aku masuk dalam tomblok, bapak kemudian menyiapkan sebuah kayu panjang biasanya terbuat dari bambu yang disebut pikulan. Satu pasang tomblok dikaitkan dengan pikulan yang selanjutnya di taruh diatas pundak bapak. Tomblok pun terangkat ketika bapak berdiri, dari sinilah perjalanku dengan tomblok dimulai.

Aku bilang, tomblok yang diangkat adalah sepasang, jika tidak maka tidak imbang. Ketika tomblok yang satu aku naiki, tomblok yang satu lagi tidak dibiarkan kosong begitu saja dan akan diisi dengan bermacam benda. Terkadang berupa perbekalan makan saat disawah nanti. Atau jika pulang diisi dengan hasil sawah dan ladang. Bahkan jika tidak ada barang atau hasil sawah yang diisikan, maka tomblok diisi dengan batu hanya untuk menyeimbangkan dengan berat tubuhku.

Satu ketika, entah kapan pastinya aku sudah lupa, aku dengan bapak dan emak ku hendak pergi ke sawah. Tiba-tiba datang Nur Qomari, teman sekaligus tetangga dekatku. Nur Qomari kecil, ternyata juga ingin ikut ke sawah. Kedua orang tua ku tidak menolaknya, mungkin mereka berpikiran Nur Qomari bisa jari teman bermainku di sawah nanti ketika mereka sedang sibuk dengan tanaman.

Bapak pun mengeluarkan satu pasang tomblok dari taring (langit-langit) kandang yang memang biasanya digunakan untuk menyimpan berbagai barang. Tomblok itu kosong, dan aku melihat emak juga tidak membawa perbekalan terlalu banyak. Lantas untuk apa sebenarnya tomblok itu. Tak tahunya, bapak menyuruh kami masuk kedalam tomblok, aku disebelah kiri dan Nur Qomari disebelah kanan.

Bapak mulai mengaitkan tali tomblok dengan pikulan yang juga diambil dari taring. Tak lama kemudian tubuhku terangkat seiring dengan terangkatnya tomblok yang dipikul bapak. Kegembiraan hati ini seakan tidak ada bisa menggantikan, senang dan senang itu yang ada dalam dada. Lebih lebih, naik tomblok dengan teman baik ku.

Sepanjang perjalanan ke sawah yang mungkin berjarak hampir satu kilo meter dari rumah kami, suara cit cit cit dari pikulan dan tomblok yang kami naiki tidak pernah berhenti. Seiring itu pula hati terus bergembira.

Sepanjang perjalanan itu, aku dan Nur Qomari terus bergurau. Tubuhnya yang sering tidak kelihatan terhalang tubuh bapak yang menahan beban dua tubuh kami, menjadi permainan petak umpet. kuuuk badala, kuuuuk badala, kata - kata itulah yang terucap dari bibir aku dan Nur Qomari berulang kali, saat tubuh kami bisa terlihat tidak terhalang tubuh bapak. Hingga akhirnya kami sampai di sawah.

Tomblok juga menjadi bagian cerita perjalanan hidup ku yang akan tetap terkenang selamanya.

1 komentar:

I W A mengatakan...

wah mantap tulisane. tapi ojo kaku-kaku dab, ben sing moco iso ngalir.